Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Sabtu, 10 Desember 2011

Melawan Kolonisasi Dalam Pendidikan


Oleh: Nur Said, M.A, M.Ag

"Selama beberapa generasi kita telah berusaha menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan makin banyak persekolahan. Tapi sejauh ini usaha itu kandas. Yang kita dapatkan dari sana hanya pelajaran memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tak berujung takkan meningkatkan mutu, melainkan pasti hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini, yang lebih sehat dan lebih siap. Sisanya hampir pasti gagal. Pelajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar secara mandiri, pengerahuan diperlukan ibarat komoditas, dikemas-kemas dan dijajarkan diterima sebagai sejenis harta pribadi oleh yang menerimanya, dan selalu langka dipasaran" (Ivan Illich, 2001:1)"
Kegelisahan Ivan Illich sebagai mana kutipan di atas sesungguhnya masih menjadi kegelisahan sejumlah pemeran pendidikan hingga saat ini. sistem pendidikan kita dalam lintas sejarahnya selalu saja tak terbebas dari kepentingan politik dan tujuan memelihara sistem sosial ekonami maupun kekuasaan mulai dai zaman penjajahan hingga ear "kemerdekaan" bahkan era reformasi sekalipun. Pada masa penjajahan pendidikan digagas tak lain hanya membentuk kelas elite untuk memenuhi kepentingan pemerintahan (Abd. Rahman Assegaf, 2005). Di era kemerdekaan, pada satu sisi, pendidikan menjadi alat setrategis dalam melakukan indoktrinasi dalam mendukung pembangunanisme (developmentalisme) yang pro terhadap kapitalisme sehingga pendidikan hanya diadaptasi untuk memenuhi masyarakat industri (link and mach). Pada sisi lain pendidikan juga telah dijadikan sebagaisetrategi pencitraan terhadap figur-figur tertentu demi melanggengkan kekuasaan politiknya. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai penataran (P4) sebagai "ritual wajib" di institusi pemerintahan dan sejumlah mata pelajaran yang terkadang menyesatkan karena dalam banyak hal telah memanipulasi sejarah yang terkadang tidak manusiawi dan menjijikkan.

Bahkan di era reformasi, tampaknya tidak terlalu sulit untuk sekedar menemukan praktek pendidikan tak ubahnya sebagai bentuk kolonisasi terselubung ketika pendidikan tak mampu lagi memberi ruang kebebasan bagi peserta didik (dalam arti luas) menjadi manusia pembelajar, yaitu pribadi yang mampu mengenali hakekat diri, potensi dan bakatnya, kemudian berusaha mengaktualisasikan segala potensinya itu secra utuh (Hernowo, 2000: 30), sehingga mereka menjadi produsen pengetahuan (bukan sekedar konsumen) yang menghafal dan membuat laporan dengan bahasa dan pedoman buku dari pengajar. Karenanya perlu kita membongkar bagaimana kolonisasi dalam pendidikan itu bisa terjadi sebagai salah satu dimensi problem pendidikan yang harus segera disadari dan dicari solusi alternatifnya.
Kolonisasi Dalam Pendidikan

Istilah kolonisasi secara sederhana dalam konteks ini lebih bermakna pembelengguan (penjajahan) yang berproses dalam pendidikan sehingga harus dibebaskan (dimerdekakan). Hipotesanya adalah kini telah terjadi penguasaan dan penaklukan atas peserta didik - dalam sejarah awalnya istilah kolonisasi/kolonialisme diartikan sebagai penguasaan atas tanah atau harta kekayaan rakyat - sehingga mereka tak memilikiotonomi dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai - meminjam istilah Franki - makhluk pemberi makna (homo significans) yang memungkinkan tumbuh menjadi dewasa diri dan dunianya secara unik tak terbandingkan.

Pada umumnya pendidikan yang berproses cendrung diselenggarakan oleh kelas dominan sehingga selalu ingin melanggengkan mereka atas kelompok lain. Hakekat pendidikan kemudian tek lebih sebagai sarana mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi etnis atau ras, relasi agama dan relasi-relasi lainnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan "teori reproduksi" (Mansour Faqih, 2001). Dengan pandangan itu peserta didik yang diberi ilmu pengetahuan seperti itu ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
  1. Dalam relasi kelas, peserta didik diberi pengetahuan agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Peserta didik tak beda dengan komoditas ekonomi dan sekaligus deposito potensial yang menjanjikan secara ekonomi sehingga semakin mempertegas kesenjangan antara kelas borjuis dan kelas proletar. Sebagai konsekuensinya institusi pendidikan sering kali terjebak pada orientasi pada lembaga pendidikan yang memiliki "keunggulan kompetitif", namun sekedar menjadikan kepuasan kebutuhan pasar dalam masyarakat industri sebagai ukuran tanpa mempedulikan proses pembelajaran kritis yang membebaskan. kalau hal ini terjadi, lembaga pendidikan tak ubahnya sekedar industri kapitalis yang sekedar ingin menciptakan "tukang-tukang" sebagai budak dari teknologi kapitalis, tanpa mau membedayakan potensinya secara kreatif dan mandiri. Pada konteks inilah proses dehumanisasi (baca: kolonisasi) dalam pendidikan mengalami menemukan bentuknya yang riil.
  2. Dalam relasi gender, peserta didik terkondisikan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi tumbuhnya sistem patriarki yang menempatkan perempuan sebagai "kelas dua", sehingga memberikan legitimasi bagi terjadinya berbagai bentuk penindasan dan kekerasan terhadap perempuan tidak lagi dianggap sebagi ketidak adilan meskipun ada pihak yang menjadi korban dan termarginalkan. Bahkan kekerasan terhadap perempuan hanya sekedar dianggap sebagai urusan privat sehingga sulit disentuh oleh hukum manapun.
  3. Dalam relasi ras/etnis (global), peserta didik telah menjadi korban manipulasi pengetahuan karena dunia pendidikan (ilmu pengetahuan) telah mengalami proses kolonisasi superioritas posisi. Pengetahuan Barat atas pengetahuan Timur. Garis imajiner antara "Timur" dan "Barat" secara nyata telah membuka peluang bagi pembagian dunia secara politik dan pertarungan negara-negara Barat dalam membangun - oleh Edward Said disebut - superioritas posisional yang lentur (Said, 1978: 7). Kolonialisme menjadi formasi spesifik yang dipakai Barat untuk "melihat", "menamai", dan mengidentifikasi komunitas-komunitas Timur (indigenous). Sehingga negara-negara Barat dicitrakan sebagai superior (penguasa), sementara negara-negara Timur dicitrakan sebagai yang terjajah (baca: dijajah) baik dalam dimensi politik maupun ilmu pengetahuan (Linda Tuhiwai Smith, 1999). Sebuah proses pendidikan yang menempatkan "superioritas oposisional" atas pengetahuan tersebut adalah salah satu bentuk kolonisasi dalam pendidikan yang menciptakan elite-elite tradisional secara hirarkis dan diskriminatif.
  4. Dalam relasi agama, pendidikan agama (Islam) cendrung dipelajari secara normatifdan hitam-pitih menekan faktor fiqhiyyah dari pada memenangkan aspek universal rabbaniyah. Karena pendidikan agama tak lebih dari sekedar pelestarian nilai-nilai lama (almuhafadhatu 'ala alqudini al alalah) dalam aliran idiologinya secara buta, tidak dibarengi dengan semangat pengkajian secara kritis faktor-faktor sejarah, sosial-plitik, dan budaya yang ikut mengkonstruksi aliran keagamaan tertentu semangat menemukan nilai-nilai baru yang lebih baik seperti nilai trasformatif, progresif, liberatif, dan emansipatoris (wal akhdu bi al jadidi al ashlah) tidak begitu ditonjolkan (untuk tidak mengatakan dinafikan). Fenomena seperti ini tentu tidak mendidik dan bentuk upaya "pembodohan" secara sistematis. peserta didik lalu sekedar didoktrin dan dibentuk (baca: dijajah potensi kritiknya) sebagai pengikut aliran Islam tertentu yang fanatik tanpa mampu mentrasformasikan nilai-nilai Islam tersebut ketika dihadapkan dengan problem kekinian.




 BERSAMBUNG...........






0 comments:

Recent Comments